Minggu, September 26, 2010

GENDER DAN PERILAKU MEMILIH



Rahmaturrizqi
Choirun Nisa
Roudlotul Aniq
Fathul Lubabin Nuqul



Ringkasan

Saat ini di beberapa daerah telah di ramaikan dengan acara pemilihan kepala daerah. Dari beberapa daerah yang menyelenggarakan muncul femonama yang menarik yaitu partisipasi perempuan untuk menjadi kandidat kepala daerah (Gubernur, wakil gubernur atu bupati, wakil bupati). Dengan pemilihan kepala daerah langsung seperti yang berlaku saat ini, membuat para kandidat harus mengikuti “selera” pemilih (voter). Usaha untuk memahami perilaku, perasaan dan piliran pemilih tidak selamanya mudah. Cara-cara lama dengan melakukan pemberian sumbangan materi dirasa tidak ampuh lagi mempengaruhi pemilih. Salah satu yang bisa dilakukan adalah asesmen kebutuhan pada voter. Di sisi lain asesmen kebutuhan ini juga tidak selamanya mudah karena terdapat perbedaan karakter antar komunitas, antar gender dan antar individu yang mempengaruhi perilaku memilih mereka. Untuk itu psikologi tertantang untuk menjelaskan perilaku memilih ini.
Perilaku memilih (Voting behavior) bisa didefinisikan sebagai keputusan seorang pemilih dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu baik dalam pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pendekatan dalam menganalisis voting behavior.
1). Mazhab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis. Pada aliran ini latar belakang seseorang atau sekelompok orang atas dasar jenis kelamin, kelas sosial, ras, etnik, agama, ideologi bahkan daerah asal menentukan keputusan untuk memberikan suara pada saat pemilihan.
2). Mazhab Michigan yang dikenal dengan pendekatan psikologis. Pada mazhab ini Kualitas personal sang kandidat, Performa pemerintah, Isu-isu yang dikembangkan sang kandidat, dan Loyalitas terhadap partai mempengaruhi pilihan voter. Selain itu nilai dari pemilih juga menentukan bentuk pilihan seseorang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada ada penbedaan pola perilaku memilih antara laki-laki dan perempuan. Perempuan lebih konservatif dalam menentukan polihannya dibanding dengan laki-laki (Inglehart & Norris, 2000)
Terkait dengan nilai dan perilaku memilih menarik untuk melihat pertimbangan pemilihan voter dalam sebuah pemilihan seorang pimpinan. Untuk itu penelitian ini berusaha menelusuri alasan pemilihan kepala daerah dengan menggunakan simulasi. Terutama yang terkait dengan gender.
Penelitian melibatkan 90 orang subyek penelitian yang terdiri dari 30 orang mahasiwa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan), 30 orang Mahasiswa Brawijaya (15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan), serta 30 orang mahasiswa Politeknik Negeri Malang (15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan).
Untuk memperoleh data yang diperlukan penelitian, maka digunakan simulator skenario yang berisi kasus tentang pemilihan calon gubernur yang berjenis kelamin berbeda dan memiliki visi misi kepemimpinan yang sama kuatnya , dari kasus ini, subyek yang di ilustrasikan sebagai pemilih diberikan alternative jawaban yaitu memilih yang calon gubernur perempuan, memilih calon gubernur laki-laki atau bahkan tidak memilih sama sekali. Dalam Simulator ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian pertama mengungkapkan identitas subjek sedangkan yang kedua berisi tentang kasus. Setiap alternative jawaban subjek diminta untuk memberikan alasan, sehingga dari alasan subjek dapat diketahui pemikiran subjek terhadap fenomena yang diteliti.

Tabel 1. Distribusi Pemilihan




Dari hasil penelitian di atas dapat diketahui secara umum subyek penelitian yang memilih laki-laki sebagai pemimpin sebanyak 68 orang atau 75,56%, dan yang memilih perempuan sebagai pemimpin “hanya” 12 orang atau 13,33%. Subyek yang abstain sebanya 10 orang atau 11, 11%.
Dari hasil tersebut juga menunjukkan bahwa perilaku perempuan dalam memilih, perempuan lebih cenderung memilih laki-laki sebagai pemimpin Hal ini bisa terjadi karena perempuan yakin dan percaya bahwa yang lebih berhak dan pantas menjadi pemimpin adalah laki-laki, hal ini terlihat dari berbagai alasan yang diutarakan oleh responden, seperti karena adanya dalil Arrijalu Qawwamuna ‘Alannisa yang bagi reponden makna dari kalimat tersebut merupakan petunjuk bagi umat muslim bahwa laki-laki itu “ lebih” dari pada perempuan, sehingga laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin, dan mereka juga berpegang pada alasan lainnya seperti semua nabi adalah laki-laki dan para nabi berhasil memimpin dengan baik setiap umatnya, alternatif jawaban ini muncul dari para mahasiswa dan mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Ada yang menarik dari mahasiswi universitas Brawijaya, sebagaian besar responden yang berlatar belakang mahasiswi fakultas hukum mereka lebih cenderung memilih perempuan menjadi pemimpin, dengan alasan perempuan juga memilki kemampuan yang tidak kalah baik dari laki-laki, perempuan lebih bisa menempatkan diri jika dipilih selain itu perempuan juga lebih peka terhadap rakyat hal ini terjadi karena perempuan mengandalakan perasaan. Berbeda halnya dengan responden dari Politeknik Negeri Malang, hanya satu orang dari mereka yang memilih perempuan sebagai pemimpin, dan yang lainnya cenderung memilih laki-laki sebagai pemimpin.
Dari hasil penelitian di atas juga dapat diketahui pula bahwa perilaku memilih pada perempuan juga relative sama dengan laki-laki, karena meskipun mereka memilki peran jenis yang berbeda tetapi pemahaman mereka terhadap konsep peran jenis antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Hasil penelitian ini tampaknya menunjukkan bahwa perempuan lebih konservatif dibanding dengan laki-laki dalam penentuan pilihannya (Inglehart & Norris, 2000). Juga perlu digaris bawahi pula latar belakang pendidikan juga mempengaruhi pola pikir seseorang hal ini terlihat dari responden yang berlatang belakang pendidikan bagian hukum lebih cenderung memilih calon pemimpin yang berjenis kelamin perempuan.

Rabu, Juni 16, 2010

WHAT ABOUT CHANGE

MAHA-siswa??? benarkah agent of change??

Kali ini ada hal yang menarik buat saya. Ketika sebuah tulisan di majalah fakultas telah menerbitkan postingan dengan judul MAHASISWA AGENT OF CHANGE,,membuat saya melirik dan bersegera untuk membacanya. Bacaanya ringan namun ada beberapa vocabulary yang cukup menusuk dipikiran saya. Sepertinya penulis mampu membakar semangat yang dulu telah musnah ditelan zaman hedonism. Mahasiswa dahulu era rezim orde lama yang selalu meneriakkan keadilan dan segalanya tentang perubahan, namun kini bergeser menjadi mahasiswa antipati dan maniac MALL..

Yah..begitulah zaman selalu berubah..dan perubahan itulah yang selalu PASTI. Teriakan perubahan akan selalu terdengar dari berbagai kampus-kampus. Mereka juga tidak segan meLABELkan diri mereka sebagai AGENT OF CHANGE, AGENT OF CONTROL dan agen agen lainnya..entahlah..mungkin agen distributor..Dahulu mereka masih pantas disebut kaum elit terpelajar, hingga mereka berhasil menggulirkan rezim Suharto, namun KINIII??apa yang sudah terjadi??? Mahasiswa sepertinya tak pantas menyandang predikat AGENT OF CHANGE..MENGAPA demikian??karena mereka hanya meneriakkan perubahan tapi tidak menyelami apa makna perubahan itu sendiri. Mereka tidak merenungkan apa yang harus dirubah??Mengapa harus berubah?? Mereka hanya berani membicarakan pemerintahan yang kotor (menurut mereka) tapi mereka tidak merenungkan apakah perbuatan, sikap, dan bagaimana dia berfikir sudahkan tepat??

Seharusnya kita sebagai kaum elit terpelajar, kembali merefleksikan diri tentang PERUBAHAN. Lebih bijak bila kita mealukan PERUBAHAN untuk keberlangsungan diri kita sendiri, daripada harus merubah sistem yang sudah terlanjur kotor. KIta hendaknya tidak lupa diri tentang predikat yang kita sandang dan gelar yang akan kita terima sebagai sarjana. Karena pada suatu saat nanti keilmuan kita akan dipertanggungjawabkan didalam masyarakat.

Minggu, Maret 14, 2010

whats up in my mind



Stuck-nasi, stuck-isme
Hampir beberapa bulan blog yg sudah saya buat, terlihat kosong, tidak memiliki soul dalam setiap tulisannya. Hanya ada beberapa posting-an dari beberapa bulan kemarin, yang mungkin belum ada yang membacanya, kecuali saya dan diriku.
Stucknasi..sepertinya kata ini tepat sekali untuk menggambarkan sebuah blog yang sudah usang ini. Saya cukup bimbang, bingung, mau diapakan blog ini.. Mau diberi posting lagi, tapi saya lagi stuck untuk menulis. Ibaratnya lagi enggak istiqomah. Mau bikin blog baru, juga buat apa, nanti jadinya mubadzir.
Ketika si stucknasi mulai merasuki pikiran saya, akhirnya saya mulai bingung..Kenapa susah sekali untuk menghadirkan tulisan-tulisan saya diblog ini. Saya belum bisa fokus dengan apa yang mau saya sampaikan, saya hanya mengulur waktu, dan saya lebih beralih mengerjakan sebuah tanggung jawab saya sebagai mahasiswsi. (sebenarnya gak pantes disebut maha..siswi)


Stuck???apakah bisa disebut sebuah kejenuhan, keengganan, kemalasan, dan ketidakseriusan??jawabanyanya hanya bias kita cari di dalam diri kita sendiri.
Dalam palung hati saya yang paling dalam berkata menulis adalah sebuah kemampuan, hobi, hal yang pantas untuk digeluti. Namun begitu saya sudah dihadapkan pada sebuah kondisi yang membuat saya menjalankan tanggung jawab saya, rupanya saya sudah begitu melupakan tradisi menulis.
Saya berharap, semoga setelah ini saya bangkit mempertahankan apa yng menjadi idealisme saya. Idealisme??memangnya kamu tahu apa tentang idealism??